Sebuah desa di tempat terpencil sedang mengalami kekeringan. Sawah mereka gagal, kebun mereka kering kerontang, sungai-sungai mengering, dan semua orang mulai kehabisan air dan bahan makanan.
Pemimpin desa itu adalah seorang yang penuh kasih, bijaksana, tapi juga tegas dan berwibawa. Menghadapi kejadian ini, ia mengumpulkan semua orang di balai desa guna membicarakan langkah-langkah terbaik menghadapi masa-masa sulit itu.
Akhirnya, ditetapkanlah bahwa semua warga akan mengumpulkan bahan makanan yang masih ada di lumbung desa. Air di sumur-sumur yang masih menggenang akan dibagi secara adil, untuk kebutuhan minum, mandi, dan mencuci warga desa tersebut hingga kekeringan berakhir. Dan untuk menjaga persediaan milik warga tersebut pemimpin desa akan menghukum siapa saja yang berani mengambil atau mencurinya.
Kekeringan masih saja berlarut-larut, hingga kemudian seseorang membobol lumbung desa dan mencuri sekarung jagung. Pemimpin desa yang mengetahui hal ini sangatlah marah. Ia meminta warga untuk mencari tahu siapa orang berani mencuri dalam situasi yang sulit itu.
Namun sungguh di luar dugaan, karena setelah diselidiki, pencuri itu tidak lain adalah anak remaja si pemimpin desa sendiri. Mengetahui hal itu, pemimpin desa benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya tahu hukuman yang harus diberikannya kepada pencuri lumbung warga, sebagaimana telah disampaikannya kepada warga, sekalipun pencuri itu adalah anaknya sendiri. Karena sedih, pemimpin desa semalam-malaman tidak tidur, menanti esok pagi di mana ia harus menghukum anaknya sendiri.
Keesokan harinya, di hadapan seluruh warga, bocah remaja itu tertunduk. Di belakangnya, berdiri sang ayah, si pemimpin desa. Katanya, "Warga desa sekalian, seperti yang telah kita sepakati, pencuri akan menerima hukumannya. Sebagai pemimpin desa, bocah remaja yang ada di hadapan saya akan menerima konsekuensi dari tindakannya. Akan tetapi, seperti yang semua ketahui, bocah itu adalah anak saya. Dan sebagai ayah, saya harus melindungi anak saya. Hukuman akan tetap dijalankan... tapi, saya akan menggantikan anak saya untuk menerima hukuman itu."
Note:
Cerita-cerita yang serupa tapi tak sama telah menggambarkan Tuhan Allah kita benar dalam segala yang dilakukan-Nya. Semuanya menyatakan bahwa Ia kasih dan adil, dan hanya Dia yang sanggup menunjukkan keduanya dengan sempurnya.
Ia yang tidak pernah berkompromi dengan dosa akan mengadili dan memberikan hukuman yang setimpal bagi dosa. Tapi Ia juga adalah kasih, karena itulah keberadaan-Nya. Dalam kasih Ia memutuskan untuk menanggung hukuman yang seharusnya kita tanggung sebagai manusia berdosa. Sekarang, apakah kita akan membuat pengorbanan-Nya sia-sia begitu saja?
Hiduplah seperti orang yang tahu berterima kasih, dan menghargai pengorbanan. Jangan sia-siakan kasih terbesar yang telah Tuhan tunjukkan. Hiduplah seturut firman dan bagikan kasih itu kepada orang lain.
0 komentar:
Post a Comment