Berikut adalah pengalaman sederhana seorang penulis yang tidak saya kenal di negeri sakura.
Suatu
ketika, ia memperhatikan jalanan dan melihat seorang nenek tua sedang
berjalan di trotoar sambil mendorong sebuah troli berisi
barang-barangnya. Nenek itu berjalan cukup pelan di tengah trotoar
sampai seorang anak muda yang sedang
mununtun sepeda tiba di belakangnya, hendak meneruskan perjalanan,
namun terhalang oleh nenek itu dan trolinya yang berjalan lebih lambat
di tengah trotoar.
Melihat
kejadian itu, saya berpikir anak muda tadi akan membunyikan bel supaya
nenek itu keberadaanya dan berjalan lebih ke tepi untuk memberinya
jalan. Tapi ternyata tidak. Anak muda tadi tetap berjalan pelan di
belakang nenek itu hingga akhirnya si nenek menyadari keberadaanya dan
buru-buru menepi sambil berkata, "Sumimasen, gomen nasai."
Membaca
kisah di atas, dan beberapa kisah lain yang serupa, saya merasa kagum
dengan orang-orang negeri sakura. Dalam posisi anak muda di atas, mungkin kita akan berpikir bahwa kita memiliki hak yang sama seperti pengguna jalan lainnya, jadi kita berhak membunyikan bel atau memberikan tanda lain supaya nenek itu menepi (sadar bahwa dirinya sedang mengganggu kenyamanan/hak pejalan
kaki lainnya). Akan tetapi, bagi orang Jepang, tetap sabar sampai orang
lain menyadari bahwa apa yang mereka lakukan mengganggu hak orang lain
(seperti apa yang dilakukan anak muda itu) sudah lebih dari cukup untuk
membuat orang itu mengerti perasaan kita. Tanpa perlu ada
kata-kata kasar atau tatapan dan sikap sinis, senyum dan diam saja bisa
membuat kita belajar tentang perasaan orang.
Saya
tidak tahu apakah cerita di atas membuat kita semua lebih belajar
menghargai perasaan orang atau tidak, namun bagi saya kisah tersebut
cukup membuat saya ingin belajar untuk lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan orang
lain. Semoga bangsa kita menjadi bangsa yang tidak hanya ramah, tapi
juga mau belajar untuk mengerti perasaan orang lain. ^ ^
0 komentar:
Post a Comment