October 09, 2013

AKU MAU PERCAYA


Untuk pertama kalinya saya membonceng ibu saya bersepeda motor. Sebelumnya beliau lebih senang mengayuh sepeda sendiri, hingga akhirnya saya memutuskan untuk membujuknya agar mau saya antar, mengingat usia beliau sudah semakin lanjut dan tidak boleh terlalu capai. Bujukan saya berhasil, beliau bersedia untuk bersepeda bersama saya.

Beberapa kali pertama saya membonceng beliau, saya merasa sedikit kesulitan dan kelelahan. Kok bisa? Padahal saya tidak perlu mengayuh atau mengeluarkan usaha dan tenaga besar selama mengantarnya. Saya hanya perlu mengarahkan kemudi ke depan, ke kanan, atau ke kiri. Saya juga hanya perlu membuka atau menutup gas dengan satu tangan dan menjaga rem belakang dengan tangan yang lain. Tapi kenapa saya merasa begitu kelelahan ya?

Setelah saya perhatikan dan bandingkan, ketika saya menyetir sendiri atau membonceng orang lain, rasanya sangat berbeda ketika saya sedang membonceng ibu saya. Beliau terasa begitu kaku. Badannya selalu condong ke kanan sehingga saya sedikit kesulitan untuk menjaga kemudi saya agar tetap lurus. Di tiap tikungan dan keramaian beliau seperti gelisah dan memegang saya erat-erat. Badannya seolah sukar untuk belok ketika saya harus belok, dan sukar untuk jejak ketika saya harus lurus. Rasanya berat sekali. Seolah saya bukan sedang membonceng melainkan sedang menggendongnya. Apakah Saudara pernah mengalami hal serupa?

Selidik punya selidik, saya akhirnya mengetahui alasan di balik "kakunya" ibu saya setiap kali saya bonceng, dan jawabannya adalah: 1. takut, 2. beliau masih belum sepenuhnya percaya kepada saya. Tuh kan? Ibu saya saja belum tentu percaya kepada saya.

Saya mungkin pernah di posisi ibu saya, saya dibonceng dan ternyata membuat orang yang membonceng saya kurang nyaman karena kekakuan (baca: ketidakpercayaan) saya. Lalu, bagaimana kalau hidup ini diibaratkan Tuhan sedang membonceng kita? Apa yang kira-kira Ia rasakan? Di luar kejadian ini saya belajar satu hal, yaitu bahwa rasa takut dan ketidakpercayaan tidak akan membawa hal baik, juga tidak akan membantu apapun. Sebaliknya, hal itu hanya akan menyulitkan, bukan hanya untuk kita sendiri, tapi juga orang yang tidak kita percayai. Kalau Tuhan adalah orang itu, ketidakpercayaan dan ketakutan kita hanya akan membuat rencana-Nya berjalan kurang mulus. Ia ingin kita belok tapi badan kita seolah tidak ingin belok. Kalau terus demikian, Ia mungkin akan menepi dan berhenti, lalu menegor kita, "Kenapa kamu tidak percaya kepada-Ku?"

Kita boleh tidak percaya kepada manusia, tapi kita wajib percaya kepada Allah. Singkirkan segala ketakutan dan ketidakpercayaan dari benak kita supaya Allah dapat dengan mudah membawa kita ke manapun Ia mau. Kita tidak ingin rencana-Nya gagal karena kesalahan kita sendiri, bukan?

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger