Dalam
hidup kita dipertemukan dengan berbagai macam orang. Saya mulai menyadarinya
sejak saya bekerja di tempat kerja saya sekarang. Sekalipun bukan kantor besar
dengan banyak staf, saya belajar banyak dari rekan-rekan kerja saya.
Perbedaan
sifat dan kebiasaan membuat kantor selalu hidup. Saya yang dulunya cenderung
pendiam jadi mulai ikut-ikutan dengan obrolan dan lawakan mereka. Saya mulai
terbiasa dengan mereka.
Tapi
perbedaan-perbedaan itu tidak selalu menuai hal-hal baik. Ketidaksepahaman
terkadang mewarnai tempat kerja kami. Tidak adanya kesetujuan mengawali rasa
ketidaksukaan. Maka dimulailah gosip-menggosip itu.
Pernah
satu saat seorang rekan saya memberi masukan tentang tambahan gizi atau makanan
yang kami berikan kepada anak-anak yang kami layani. Sekali lagi saya tekankan,
“memberi masukan” alias berpendapat. Intinya ia menyarankan, kalau bisa makanan
itu lain kali diganti dengan makanan lain. Buat saya, ia menyampaikan
pendapatnya dengan cukup baik dan tidak ada unsur menjelek-jelekkan siapapun.
Rekan-rekan saya yang lain juga menyimak saat ia berbicara dan setelah itu
tidak banyak berkomentar. Tapi hari-hari berikutnya, saat rekan saya ini sedang
tidak bersama kami, celetukkan mulai muncul, mempertanyakan pendapatnya. “Wong
gitu aja kok jadi masalah!” kata mereka.
Pada
kesempatan lain, bendahara kami bergurau tentang kenapa dana satu acara
tertentu langsung diberikan oleh koordinator kami kepada rekan saya lainnya,
dan tidak melalui dirinya. “Nanti dipake buat yang lain, non?” katanya. Tapi
ini tidak seperti bayangan Anda. Di depan saya, ia menyampaikan dengan gurauan,
sekali lagi “gurauan”, karena bahasa tubuh, wajah, dan nada bicaranya memang
bergurau. Katakanlah seperti, “Nanti dipake buat yang lain, non? He he...”
Selain itu, kejadian seperti ini (yang dilakukan koordinator saya tadi) pernah
beberapa kali terjadi, dan tidak ada masalah. Namun tidak demikian menurut si
penerima komentar. Ia menanggapinya dengan serius, dan sepertinya, mulai sakit
hati karenanya.
Saya
sendiri juga pernah hampir terpancing gurauan yang terjadi di antara kami, tapi
setelah saya renungkan, kenapa saya harus marah? Saya bersyukur bisa mengenal
mereka, karena dari mereka saya belajar tentang kesabaran, tentang penghargaan,
tentang kasih, tentang kehidupan. Mereka hanya memiliki sikap yang berbeda,
sifat yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, minat yang berbeda, pendapat yang
berbeda. Apakah itu salah?
Kehidupan
yang saling menghargai dan mengasihi adalah hidup yang diinginkan Allah,
terutama di antara orang-orang percaya. Kenapa kita tidak membiasakan diri
dengan perbedaan yang ada di sekitar kita, belajar memahaminya, dan
menyesuaikan diri dengannya. Yang saya maksud bukanlah kompromi terhadap
kesalahan, dosa – soal ini saya sangat setuju jika kita menegur atau
mengingatkan orang itu dengan kasih – yang saya maksud adalah menghargai
sesuatu yang berbeda dengan kita. Coba bayangkan kalau semua orang punya sifat
dan kebiasaan yang sama, pasti dunia akan membosankan. Warnamu dan warnakulah
yang membuat dunia jadi indah.
Tuhan,
ajar aku untuk menghargai perbedaan di antara aku dan orang-orang di sekitarku,
dan bantu aku untuk mengasihi mereka seperti Engkau telah mengasihi kami semua.
Terima kasih, Tuhan Yesus, Amen.
Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara
dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Rom. 2:10
0 komentar:
Post a Comment