Semester
pertama kuliah sungguh menyenangkan, seperti mimpi yang akhirnya terwujud.
Sekalipun melelahkan, karena masih harus bekerja di satu tempat dan memberi les
privat di tempat lain, minggu-minggu itu tidak pernah jadi minggu yang membosankan.
Meski
semangat berkobar tak terhenti, tapi tubuh ini ternyata tidak lagi mampu
menahan letih. Saya jatuh sakit. Suhu badan saya naik turun selama beberapa
hari. Karena sudah memasuki minggu UAS, saya tetap saja masuk kuliah. Untungnya,
setiap pagi suhu badan saya turun hingga normal, jadi saya masih punya tenaga
untuk mengayuh sepeda ke kampus. Tapi begitu matahari meninggi, suhu badan saya
juga ikut tinggi.
Begitu
UAS selesai saya langsung tidak datang ke kampus. Ibu mengajak saya untuk memeriksakan
diri di bidan dekat rumah kami, sayapun mendapat rujukan untuk cek darah atau
langsung memeriksakan diri ke rumah sakit. Rumah sakit? Tempat ini jadi pilihan
terakhir saya. Alhasil, saya cek darah dan dari situ diketahui bahwa saya
terkena typhus.
Sekalipun
mendapat saran untuk rawat inap, saya memutuskan istirahat di rumah saja –
tidak dapat saya bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan
di rumah sakit, bayar kuliah sendiri saja sudah ngos-ngosan. Saya juga yakin,
Tuhan sanggup menyembuhkan saya meski saya tidak dirawat di rumah sakit.
Dengan
kesabaran ibu saya untuk merawat dan mendoakan saya, saya semakin membaik. Puji
Tuhan, saya juga tidak rewel soal makanan. Meski hanya bubur dan air putih,
saya lahap semua. He he... akhirnya saya sembuh!
Sejak
itu saya lebih menghargai waktu-waktu yang saya miliki untuk istirahat. Saya
menjaga jam makan, dan semakin menyukai air putih sampai sekarang. Tapi lebih
dari pada itu, saya melihat kebaikan Tuhan dalam hidup saya. Tuhan itu sungguh
amat baik. Dia bisa menjadi segalanya, termasuk dokter saya.
0 komentar:
Post a Comment