June 22, 2013

DI ATAS RATA-RATA


Hari itu setelah makan siang, saya dan rekan saya hanya punya selembar uang Rp. 50.000-an untuk pulang. Karena kami harus naik angkutan kota, saya berinisiatif untuk menukarnya dengan uang kecil supaya kami tidak "disemprot" oleh para supir angkutan kota akibat membayar dengan uang besar. Posisi kami di mall membuat saya sedikit berpikir untuk mencari tempat yang kira-kira bersedia melayani penukaran uang, dan yang pertama terbersit di kepala saya adalah kasir, dan nampaklah di depan saya... kasir Giant.

Ketika saya menunjuk dan menuju ke arah kasir, rekan saya mengikuti. Tapi melihat ketiga kasir yang sedang sibuk melayani pembeli, saya merasa ragu untuk maju, sampai saya melihat seorang karyawan lain yang sedang sibuk mengumpulkan troli belanjaan. Saya akhirnya memberanikan diri dan memutuskan untuk minta tolong kepada karyawan "healthy" alias agak gemuk itu. "Pak, maaf, bisa saya minta tolong? (sambil menunjukkan selembar uang Rp. 50.000) Saya harus memecahkan uang ini. Saya butuh sekali, tapi kasir sepertinya sedang sibuk. Bisa Bapak bantu saya untuk menukarkan uang ini di kasir? Tolong ya, Pak." Dalam hati jujur saya sedikit ragu Bapak itu akan menolong saya, tapi melihat wajahnya yang memberikan kesan baik, saya lebih yakin ia akan membantu saya.

Benar saja, Bapak itu akhirnya membantu saya. Sekalipun ia harus membuka laci kasir lainnya untuk mencari uang pecah, tapi kemudian ia kembali ke hadapan saya. "Ini, tolong dihitung dulu." Mendengarnya berkata demikian, saya spontan mengucapkan terima kasih. Uang yang disodorkannya tidak hanya pecahan, tapi juga lembaran uang yang baik, bukan kumal atau yang kusut. Rekan saya yang pernah menjadi seorang auditor keuangan, langsung memujinya di hadapan saya. Ia menyampaikan bahwa ia sanksi ketika saya memutuskan untuk meminta pertolongan Bapak itu. Mendengarnya berkata, "Mbak sebaiknya langsung ke kasir saja" itu sudah lumayan dan bahkan cukup sopan, tapi Bapak itu malah melayani saya sebegitunya, bahkan "tolong dihitung dulu"? Wah, itu luar biasa. Pegawai di atas rata-rata. Kejadian itu dibahasnya, bahkan sampai kami naik angkutan kota.

Kata-kata "pegawai di atas rata-rata" sampai hari ini masih bergema di telinga saya, dan kejadian itu saya rasa tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Dari Bapak itu saya belajar, bahwa menjadi siapapun kita, karyawan atau pegawai apapun kita, kita bisa menjadi yang "di atas rata-rata," bukan karena kecerdasan teori atau analisa atau ide, tetapi karena kecerdasan hati dan sikap. Ada orang yang bekerja asal-asalan. "Boro-boro" melayani orang lain, kerjaan sendiri belum selesai jangan harap mau bantu kerjaan orang lain. Akan tetapi, mengerjakan sesuatu sebaik mungkin dapat membuat seseorang menjadi "di atas rata-rata." Selain itu, kerelaan untuk menolong orang lain dan memberikan pelayanan yang terbaik juga dapat menjadikan seseorang "di atas rata-rata." Maukah kita bersikap demikian, menjadi orang "di atas rata-rata" lainnya yang dapat memberikan kesan seumur hidup bagi orang lain?

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger