June 09, 2013

UPAH YANG MENANTI


"Upah karena melakukan kebenaran lebih baik dibandingkan hasil yang diperoleh dari kecurangan," demikianlah isi kutipan yang mengingatkan saya akan masa lalu saya.

Saya dulu mungkin termasuk anak yang "sok" baik di hadapan teman-teman. Salah satu pandangan idealis saya adalah tidak boleh mencontek. Saya sangat "sengik" kepada mereka yang suka mencontek di kelas, dan teman-teman yang mengenal saya menganggap saya anak Kristen yang ndak aneh-aneh di kelas, dan yang selalu taat kepada peraturan. Sampai hari itu tiba.

Ulangan Fisika sudah di depan mata, akan tetapi saya kurang siap dengan materinya. Dari sekian soal yang diberikan, saya ingat hanya bisa mengerjakan dua di antaranya. Waktu terus berjalan dan saya mulai putus asa. Teman-teman yang lain sudah "bekerja sama" semua, tinggal saya satu-satunya murid yang duduk di barisan depan yang masih fokus dengan soal di depan saya. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk membalikkan badan dan berkata, "Teman-teman, soal yang ini gimana?"

Ketika hasil ulangan dibagikan, saya mendapat nilai 7. Ingin sekali menggambarkan perasaan yang muncul waktu itu, tapi bukan rasa bahagia, melainkan penyesalan. Saya mungkin mendapat nilai pas-pasan dengan cara curang, tapi rasanya lebih baik mendapat nilai 2 karena kejujuran. Yang membuat saya lebih menyesal lagi adalah karena salah satu teman saya berkata, "Tumben ya Rani mau "kerja sama." Saya langsung sadar bahwa selama ini teman-teman saya memperhatikan saya, bahwa mereka tahu pandangan idealis saya. Namun dalam sekejap, pandangan mereka selama bertahun-tahun berubah. "Ah, ternyata toh sama aja dengan yang lain," mungkin itulah salah satu gambaran tentang saya yang muncul di benak mereka.

Hari itu saya benar-benar malu. Saya malu karena saya tidak dapat mempertahankan integritas yang selama ini berusaha saya jaga. Saya malu karena akhirnya mereka menganggap saya sama saja dengan anak-anak lainnya. Terlebih lagi, saya malu karena saya sudah mempermalukan Kristus yang selama ini saya coba perlihatkan kepada mereka. Saya tidak tahu harus berkata apa lagi, kecuali satu komitmen dalam hati, "Saya tidak akan pernah melakukannya lagi."

Di luar pengalaman yang terjadi, saya belajar bahwa ternyata kehidupan orang percaya diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya. Satu kesalahan saja akan membuat mereka berpikir bahwa kita tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak percaya. Orang akan mempertanyakan, kehidupan Kristen seperti apa yang mau kita tunjukkan, kalau ternyata kita melakukan kesalahan-kesalahan yang juga dibuat oleh dunia? Tidak dapat dipungkiri bahwa kesalahan bisa diikuti dengan kesuksesan dan berkat-berkat, namun bukan berkat-berkat yang dinaungi rahmat Allah. Kesalahan itu akan tetap membawa kita kepada kebinasaan, walau awalnya yang kita cicip adalah kenikmatan. Apapun yang kita lakukan, lihatlah upah yang menanti kita, apakah itu kutuk atau berkat?

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger