January 17, 2013

AKU SUKA WARNAMU



Dalam hidup kita dipertemukan dengan berbagai macam orang. Saya mulai menyadarinya sejak saya bekerja di tempat kerja saya sekarang. Sekalipun bukan kantor besar dengan banyak staf, saya belajar banyak dari rekan-rekan kerja saya.

Perbedaan sifat dan kebiasaan membuat kantor selalu hidup. Saya yang dulunya cenderung pendiam jadi mulai ikut-ikutan dengan obrolan dan lawakan mereka. Saya mulai terbiasa dengan mereka.

Tapi perbedaan-perbedaan itu tidak selalu menuai hal-hal baik. Ketidaksepahaman terkadang mewarnai tempat kerja kami. Tidak adanya kesetujuan mengawali rasa ketidaksukaan. Maka dimulailah gosip-menggosip itu.

Pernah satu saat seorang rekan saya memberi masukan tentang tambahan gizi atau makanan yang kami berikan kepada anak-anak yang kami layani. Sekali lagi saya tekankan, “memberi masukan” alias berpendapat. Intinya ia menyarankan, kalau bisa makanan itu lain kali diganti dengan makanan lain. Buat saya, ia menyampaikan pendapatnya dengan cukup baik dan tidak ada unsur menjelek-jelekkan siapapun. Rekan-rekan saya yang lain juga menyimak saat ia berbicara dan setelah itu tidak banyak berkomentar. Tapi hari-hari berikutnya, saat rekan saya ini sedang tidak bersama kami, celetukkan mulai muncul, mempertanyakan pendapatnya. “Wong gitu aja kok jadi masalah!” kata mereka.

Pada kesempatan lain, bendahara kami bergurau tentang kenapa dana satu acara tertentu langsung diberikan oleh koordinator kami kepada rekan saya lainnya, dan tidak melalui dirinya. “Nanti dipake buat yang lain, non?” katanya. Tapi ini tidak seperti bayangan Anda. Di depan saya, ia menyampaikan dengan gurauan, sekali lagi “gurauan”, karena bahasa tubuh, wajah, dan nada bicaranya memang bergurau. Katakanlah seperti, “Nanti dipake buat yang lain, non? He he...” Selain itu, kejadian seperti ini (yang dilakukan koordinator saya tadi) pernah beberapa kali terjadi, dan tidak ada masalah. Namun tidak demikian menurut si penerima komentar. Ia menanggapinya dengan serius, dan sepertinya, mulai sakit hati karenanya.

Saya sendiri juga pernah hampir terpancing gurauan yang terjadi di antara kami, tapi setelah saya renungkan, kenapa saya harus marah? Saya bersyukur bisa mengenal mereka, karena dari mereka saya belajar tentang kesabaran, tentang penghargaan, tentang kasih, tentang kehidupan. Mereka hanya memiliki sikap yang berbeda, sifat yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, minat yang berbeda, pendapat yang berbeda. Apakah itu salah?

Kehidupan yang saling menghargai dan mengasihi adalah hidup yang diinginkan Allah, terutama di antara orang-orang percaya. Kenapa kita tidak membiasakan diri dengan perbedaan yang ada di sekitar kita, belajar memahaminya, dan menyesuaikan diri dengannya. Yang saya maksud bukanlah kompromi terhadap kesalahan, dosa – soal ini saya sangat setuju jika kita menegur atau mengingatkan orang itu dengan kasih – yang saya maksud adalah menghargai sesuatu yang berbeda dengan kita. Coba bayangkan kalau semua orang punya sifat dan kebiasaan yang sama, pasti dunia akan membosankan. Warnamu dan warnakulah yang membuat dunia jadi indah.

Tuhan, ajar aku untuk menghargai perbedaan di antara aku dan orang-orang di sekitarku, dan bantu aku untuk mengasihi mereka seperti Engkau telah mengasihi kami semua. Terima kasih, Tuhan Yesus, Amen.

Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara
dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Rom. 2:10

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger