January 28, 2013

APA ITU?



Seorang ayah dan anak laki-lakinya duduk di bangku teras rumah mereka. Sementara si anak asyik sendiri membaca koran, sang ayah yang sudah mulai lanjut memperhatikan taman dan pohon di sekitar mereka.

Tidak lama kemudian sang ayah melihat seekor burung pipit bercuit-cuit di antara bunga-bunga. Tanyanya kepada anaknya, “Apa itu?” Si anak melihat sekilas apa yang dimaksud oleh ayahnya, dan menjawab, “Burung pipit,” lalu kembali membaca korannya.

Setelah burung  itu terbang dan bertengger di atas dahan yang lebih, sang ayah bertanya lagi kepada anaknya, “Apa itu?” Si anak melihat ke atas, kemudian melihat ke arah ayahnya, dan berkata, “Burung pipit, ayah.”

Tidak lama setelah itu, burung tadi terbang turun dan bercuit-cuit di tanah. Sang ayah kembali bertanya kepada anaknya, “Apa itu?” Si anak menurunkan korannya, dan melihat burung tadi. Karena mulai merasa terganggu, ia menghela napas, baru kemudian memberikan jawaban, “Itu burung pipit, ayah, burung pipit!” Lalu ia membaca kembali korannya.

Tapi untuk yang kesekian kalinya, sang ayah bertanya, “Apa itu?” dan kali ini si anak tidak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Ia sedikit berteriak, “Itu burung pipit, ayah, burung pipit! Ada apa sebenarnya dengan ayah? Ayah sudah gila ya? Itu, BURUNG PIPIT!”

Sang ayah tidak merespon. Ia hanya diam, dan setelah itu berjalan masuk ke dalam rumah. “Ayah mau ke mana?” tanya si anak. Tersirat sedikit penyesalan di wajah anak itu karena apa yang sudah terjadi. Ia menghela napas panjang dan melipat korannya.

Tidak lama ayahnya kembali keluar sambil membawa sebuah buku catatan. Ia duduk, memberikan buku itu kepada anaknya. “Ini, bacalah,” katanya, “yang keras!” Kemudian, anaknya pun mulai membaca.

“Anak laki-lakiku sekarang berusia 3 tahun. Ia selalu saja ingin tahu. Hari ini, di taman, ia bertanya kepadaku, “Apa itu?”, dan aku menjawab, “Burung pipit.” Ia terus mengulang pertanyanyaan yang sama, dan aku juga terus mengulang jawaban yang sama. 20 kali ia bertanya, “Apa itu?” 20 kali juga aku menjawab, “Burung pipit” sambil memeluknya dengan penuh kasih sayang.”

Membaca diari itu, si anak kemudian terdiam. Sang ayah juga terdiam. Si anak tidak lagi dapat menahan perasaannya sampai akhirnya ia memeluk sang ayah.

Kasih orang tua kita mungkin tidak akan dapat kita mengerti sampai kita sendiri menjadi orang tua. Mereka begitu mengasihi dan menerima kita, apa adanya, tanpa ada keluhan ataupun ketidaksabaran. Terkadang, merekalah sahabat yang selama ini kita cari-cari di dunia karena merekalah yang paling mengerti dan memahami kita. Maka, kasihilah orang tua kita seperti mereka sudah mengasihi kita.

0 komentar:

Post a Comment

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger