January 28, 2013

DI TANGAN SANG MAESTRO



Seorang laki-laki tua sedang memegang sebuah kayu. Ia mulai memotong, membentuk, dan mengukir kayu itu menurut desain yang ada di hadapannya. Ia mengamplas dan memliturnya dengan sangat hati-hati, serta memasangkan senar di gagangnya dengan begitu teliti. Ia mulai menutup mata, memetik senar-senar itu dan menyetem nada-nadanya. Dengan perhatian penuh, ia berusaha menemukan nada yang sempurna. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada yang terlewatkan, laki-laki itu mengambil alat gesek, dan memainkan sebuah lagu. Tidak akan ada yang menyangka bahwa di tangan si maestro, biola kecil itu dapat menghasilkan lagu yang begitu indah, begitu merdu. Sungguh biola yang berharga dan menawan.

Waktu berlalu, ketika akhirnya biola itu terjual dan menjadi milik orang lain. Pemilik baru ini sangat menyukai biola indahnya, ia pun sering memainkannya, sampai... satu saat biola itu jatuh dan gagangnya patah. Ia sempat membawa biola itu untuk diperbaiki, namun hasilnya tidak seperti yang diinginkannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjual biola itu.

Pemilik yang baru dari biola itu kini adalah seorang anak perempuan. Anak ini baru belajar untuk memainkan biola, dan tentu saja permainannya masih jauh dari sempurna. Ia juga tidak terlalu mengerti betapa berharganya biola itu; ia sesekali menjadikan senarnya untuk bermain panah-panah, dan meletakkanya di sembarang tempat. Hingga akhirnya anak perempuan itu bosan dan memutuskan untuk menyimpan biolanya di gudang.

Sungguh malang nasib biola itu sekarang. Ia berdebu, tak terawat. Catnya sudah mulai terkelupas dengan bekas goresan di sana-sini. Ia tidak lagi berharga, apalagi menawan.

Ketika tiba hari pelelangan barang-barang bekas, biola ini pun ada di sana. Ia akan dilelang. Satu-persatu barang dilelang dengan tawaran yang rata-rata tidak terlalu tinggi; maklum saja, itu hanya barang bekas. Sampai tiba giliran biola ini untuk dilelang, pemimpin acara lelang mengangkat biola itu dengan segan, berusaha meyakinkan orang-orang bahwa mereka masih dapat menggunakan biola tua itu. Harga awal yang ditawarkan tidaklah besar, hanya 1 dollar. “Siapa yang mau manawar? Hanya 1 dollar.” Satu orang mengangkat tangan. “Dua dollar.” Satu orang lagi mengangkat tangan. “Tiga dollar. Siapa lagi yang menawar? Tiga dollar,” kata pempimpin lelang.

Tanpa disangka, dari jauh seorang laki-laki tua melihat acara lelang itu, dan mulai mengenali biola tua buatannya. Melihat yang terjadi, laki-laki itu maju ke depan, mengambil biola itu dari tangan pemimpin lelang, mengelapnya dengan hati-hati, mengencangkan dan menyetem senar-senarnya, dan kemudian memainkan sebuah lagu, melodi yang sangat indah. ... Pemimpin lelang dan semua yang hadir di situ hanya bisa terdiam mendengarkan permainan biola sang laki-laki tua. Mereka tersihir oleh permainan biolanya.

Begitu lagu selesai dimainkan, laki-laki itu menyerahkan biolanya ke tangan pimimpin lelang. Ruangan menjadi sepi. Sang pemimpin lelang hanya bisa memperhatikan biola tua di tangannya, dan kemudian dengan bangga berkata, “Sekarang, siapa yang mau membeli biola tua ini? Tawaran mulai dari 1000 dollar. Ya, 1000 dollar.” Satu orang mengangkat tangan. “2000 dollar.” Orang lain mengangkat tangan. “3000 dollar. 300 dollar! Apa ada yang mau menawar lebih dari 3000 dollar? ... Kalau begitu, TERJUAL!!! 3000 dollar.”

Kira-kira, apa yang membuat nilai biola tua itu berubah? Jawabannya adalah, sentuhan tangan seorang maestro, sentuhan tangan sang pencipta.

Ada banyak orang yang hidupnya hancur, remuk karena dosa, hidupnya berantakan. Mereka minum-minum, berjudi, seks bebas, memakai obat-obatan terlarang, dan kemudian terhilang. Mereka kehilangan jalan pulang. Meski dari luar terlihat baik-baik saja, tapi dalam hati mereka merasa sendirian, putus asa, dan akhirnya ingin mengakhiri hidupnya. Orang lain hanya bisa mencaci. “Mendingan kamu mati saja,” kata mereka. Mereka seperti biola yang hancur.

Akan tetapi, ketika tangan sang maestro, sang pencipta menyentuh mereka, hidup mereka mereka berubah. Orang lain tidak akan pernah mengerti nilai sebuah jiwa ketika tangan sang pencipta menyentuhnya.

2 komentar:

 

Copyright © Renungan Harian Maranatha Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger